Senin, 18 Maret 2013

APA YANG TERJADI SAAT SISWA MENYONTEK?


Karya ini
kupersembahkan
untuk anak muridku tercinta


Hari itu selama satu minggu saya kebagian tugas untuk mengawas Try Out dan Mid semester. Fenomena ganjil yang kerap kali hadir saat ujian pun mulai jumpalitan di depan mata. Sambil menatap tajam setiap siswa/siswi yang sedang putus asa dalam menjawab tiap butir soal di depan matanya, pikiranku berusaha menelanjangi mereka: "kenapa kau mencontek joko?, apakah kau tidak belajar semalam?, atau jangan-jangan kau tidak pernah belajar selama tiga tahun ini?, lalu apa yang kau dapat selama tiga tahun belakang ini?. Tidak kah engkau malu pada dirimu sendiri bahwa ternyata apa yang kau pelajari selama ini hanya mengantarkanmu menjadi pecundang, penipu, atau katakanlah bahwa engkau masuk ke sekolah ini hanya untuk menjadi bodoh (peniru, tidak kreatif, tidak mandiri, dan membuang-buang waktu dan tenaga saja)!". Lamunanku tersentak saat jono berbisik pada joko, seketika telunjukku menusuk matanya hingga seluruh mata mengarah pada jono. "hey jono! Lihat kedepan!" Bentak Jodi pada jono. "iya ni pa jono nayain jawaban terus, saya juga belum!" tegas joko padaku.
"hah!... tidak hanya joko, bahkan jono, Jodi, joni, dan judi serta seisi kelas ini sedang berusaha sekuat tenaga mencari cara untuk mencontek. Bukankah seharusnya mereka berusaha untuk menjawab atau paling tidak menerka-nerka jawaban. Daripada berusaha mencari cara untuk mencontek".
"ah… ini tidak bisa dibiarkan aku tidak mau menanggung dosa saat kalian belajar melakukan kecurangan, aku tidak akan membiarkan kalian belajar menjadi pembohong bagi diri kalian sendiri, aku juga malas mengakui, jika suatu saat nanti budaya korup dan haram merajalela, hanya karena aku membiarkan kalian menyontek lalu kalian terbiasa curang dan menghalalkan segala cara."
"maafkan aku joko, jono, joni, Jodi, judi, dan anak-anaku sekalian, aku akan merobek kertas jawaban kalian jika kalian berani mencontek di depan mataku !"
Untungnya ada siswi seperti Tuti, meski seisi kelas terlihat panik melihat kertas ulangan, namun tidak bagi tuti, ia tetap tenang menjawab setiap soal didepan matanya. Tuti tergolong pendiam tak sekalipun aku melihatnya menoleh ke kanan atau ke kiri. Saking pendiamnya sampai-sampai aku belum pernah melihatnya berbicara atau buka mulut untuk sekedar menguap. Dan biasanya meski teman sebelahnya kentut dengan ancaman radiasi 1 kilometer pun, orang seperti ini tidak akan bergeming sedikitpun. Itulah mengapa orang seperti Tuti dianggap sombong dan sering dipermainkan teman sebayanya. Anehnya lagi, meski tergolong cerdas Tuti tampak terbelakang dalam menyikapi fenomena disekitarnya, tidak seperti Jono, Joni, dan yang lainnya, ketinggalan dalam pelajaran, tapi up to date terhadap fenomena sekelilingnya.
Sempat aku berfikir bahwa sekolah seharusnya mampu menggabungkan karakter yang berbeda tajam seperti ini dalam satu pribadi yang kuat.
Salah seorang dari kalian mungkin akan berkata bahwa kecerdasan tidak bisa diukur hanya dari nilai ujian semata. Jadi mengapa kita harus menanggapinya terlalu serius?
Itu benar, kecerdasan bisa diukur dari berbagai aspek, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik, namun ketika seorang pelajar melakukan kecurangan, maka sesungguhnya ia telah menurunkan nilai afektif dan psikomotor sekaligus.
Perilaku mencontek saat ujian adalah upaya untuk menjawab soal yang dianggap sulit, hal ini mengindikasikan bahwa siswa yang mencontek tersebut tidak mengetahui secara teoritis persoalan yang dihadapinya, lalu dengan cara curang ia berusaha untuk mendapatkan penyelesaian masalah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa yang mencontek dianggap lemah secara moral dan lemah secara teoritis. Dan pada akhirnya ketika ia lemah secara teoritis, maka ia akan kurang sempurna pengetahuannya tentang cara melakukan sesuatu umpamanya. Hal ini akan menurunkan nilai psikomotornya.
Jadi mungkin aku akan mengulang pertanyaanku kembali, "apa yang telah kau pelajari selama ini?"
"ah… akhirnya ada juga yang selesai" seketika kelas menjadi ramai
"belagu luh ton!" celetuk Joni
Tono memang tak pernah ambil pusing dalam menjawab soal ujian, toh nilai yang didapat tak pernah objektif dan bagaimana mungkin bisa objektif jika hampir seluruh siswa mencontek saat ujian…!
Saat kulihat lembar jawabannya, tertulis dengan jelas….
No 1       : gak tau pak
No 2       : Lupa
No 3       : Gak bisa
No 4       : Lupa
No 5       : Pengawasnya pelit
No 6       : bingung
No 7       : pusing
No 8       : soalnya juga gak ngerti
No 9       : ah…!
No 10    : ya sudahlah….
Rasanya pengen ketawa, tapi kutahan, saat itu adalah mata pelajaran B. Arab. Lalu aku berdiri dan berkata pada seluruh siswa dalam ruangan:
"kalau kalian jujur, guru akan tau kalau dia gagal atau sukses dalam mengajar, tapi kalau kaliang curang, dia gakan pernah tau dan kalian sendiri yang akan rugi, buat apa bayar mahal-mahal, kadang dimarahin, dihukum, dan sebagainya, tapi kalian tetap gagal?"
"jujurlah dan kalian akan berhasil, banyak orang yang telah berhasil dengan cara curang atau berhasil lalu melakukan kecurangan akhirnya berakhir dibalik jeruji penjara."
"berhasilah dengan cara yang baik dan melakukan yang baik saat berhasil. Itu sudah cukup untuk menjalani hidup !"
Lalu siswa yang lain menyusul Tono. Lambat laun usailah sudah ujian B. Arab pagi itu. Soal essay itu terlalu rumit untuk kepala mereka, terlihat dari lembar jawaban yang hanya berisi sedikit tulisan.
Keesokan harinya di ruang yang berbeda untuk mata pelajaran yang berbeda pula. Singkat cerita ruangan semakin ramai, banyak siswa saling menanyakan jawaban untuk soal yang beragam. Terlihat angka-angka berhamburan dari mulut mereka dan berdesakan masuk ke telingaku. No 1 sampai 7.
"tin ! no 3 udah belum?"
"ssttt… ssttt… no 2 !"
"yu…! No 4 dong"
"5 belum 7 udah !"
Sambil mengisi berita acara, pikiranku berkata: "orang bisik-bisik ko kenceng banget ya, sekali-kali nyonteknya yang cerdas keq, jangan pake gaya kuno gitu, coba kalian belajar dari orang jepang, nyonteknya udah canggih… ah… ! apa boleh dikata, wong ke warnet juga Cuma maen facebook, twitter ato game online… buang-buang duit aja. Paling bagus ke warnet nyari makalah yang udah jadi buat Menuhin tugas yang dikasih guru, gak ada nilai kognitifnya sama sekali…!
Setelah selesai mengisi berita acara, saya berdiri menghampiri salah satu meja peserta memberikan absensi, "kalau ada yang ketahuan nyontek atau kerjasama, lembar jawaban akan saya rampas !"
Seketika ruangan menjadi hening. Satu persatu siswa mlai menguap dan semakin banyak yang terpesona melihat soal di depan matanya, seolah matanya kena pelet, kedap-kedip memandangi lembar soal. Entah apa yang tengah berkecamuk dalam dirinya
"yang menyerah silahkan dikumpulkan!" sengaja kata-kata itu aku keluarkan untuk memacu kerja otak mereka.
Sebagian mulai berusaha mengingat-ingat pelajaran yang memang tidak pernah dihapalnya, sebagian lagi mulai panik, dan sebagian lagi merengek minta diizinin nyontek untuk satu jawaban saja. Tentu saja tidak aku izinkan, lalu kelas mulai hening, tapi aku tau bagi mereka kelas terasa ramai, ada gelora berkecamuk dalam diri mereka.
"kelas yang berbeda namun situasinya sama, kenapa mereka mencontek? Adakah guru kalian salah dalam mengajar? Ataukah ditempat ini memang dianggap lumrah? Siapkah kalian untuk ujian Negara yang ketat? Siapkah kalian untuk tidak lulus? Aku takut suatu saat nanti Negara ini tidak mempunyai buah karya orisinil, alih-alih buah karya tersebut malah digugat karna plagiarism"
"tahukah kalian, digengamanku terselip masa depan Negara ini dan saat aku biarkan kecurangan menyelinap ke luar dari sela-sela jariku, aku melihat kebobrokan moral bangsaku dan saat pikiran kalian terkapar dihantam ribuan soal, aku melihat betapa rapuhnya Negara ini, tak heran jika Negara sekecil Malaysia meremehkan kita, negara tanpa semangat juang, negara yang lemah secara intelektualitas, rapuh secara moral, negara yang hanya bangga dengan warisan leluhurnya. Dan kalianlah masa depan itu, yang kini tengah belajar curang, belajar menghalalkan segala cara, belajar mempermalukan diri sendiri, belajar tidak bertanggungjawab, dan belajar foya-foya (membuang uang untuk membayar kegagalan)"
Saat ku lemaskan genggaman tanganku, kesedihan menghampiriku.
"lagi-lagi aku menelanjangi pikiran kalian, itu karena aku membenci cara-cara guru di negara ini dalam mengajar, akulah salah satu korbannya, membuang uang untuk membeli kegagalan, yang aku inginkan dari kalian hanya satu, jangan menjadi diriku yang malas belajar karena membenci cara mengajar yang sama sekali tidak bernilai. Meski seumur hidupku hanya beberapa kali mencontek, tapi kebencianku pada cara-cara guru mengajar yang membuatku seperti ini, jadi bukan karena tidak mau mencontek. Dan sekarang aku lebih menghargai guru, karna disaat mereka salah, setidaknya aku bisa memilah.
Dan karena saat ini aku adalah seorang guru dan belum menjadi guru yang baik, guru yang masih belajar mengajar. Meski menurutku kata sambil tidak pantas berdampingan dengan kata mengajar, seperti mengajar sambil jualan modul, mengajar sambil jualan pulsa, mengajar sambil nyari pasangan hidup, bahkan, mengajar sambil belajar. Kata sambil jika berdampingan dengan kata mengajar akan menurunkan professionalisme seorang guru. Akan semakin banyak persoalan yang dipikirkan seorang guru selain perkembangan muridnya. Dan pada akhirnya output (kualitas) lulusan sekolah pun akan diragukan. Dan barangkali dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri guru yang tidak professional adalah guru yang ketika marah dia akan berkata "memangnya kamu doang yang saya pikirkan !!!"
Lalu apa yang terjadi saat siswa mencontek? Biarlah pikiranmu bekerja sejenak. Sambil aku merumuskannya terlebih dahulu. Pikiranku terlalu liar untuk membahasnya sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar